![](https://www.kharismaonline.co.id/wp-content/uploads/2020/03/IMG-20200324-WA0044.jpg)
Oleh: Dr. S Benny Pasaribu, PhD
Nasional, Kharismaonline.co.id – Kita patut berkabung atas banyaknya korban meninggal akibat serangan virus Corona di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Kita juga sangat mengapresiasi langkah2 yang diambil oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Banyak kendala yang dihadapi tetapi secara cepat kelihatannya dapat diatasi. Kolaborasi di antara aparat pusat mulai berjalan lancar di bawah kepemimpinan gugus tugas Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo. Namun ke depan, keterbatasan fasilitas dan tenaga medis akan sulit diatasi seiring dengan pertambahan secara eksponensial jumlah korban Covid 19, termasuk ODP dan PDP. Belum lagi perekonomian yang makin menurun kinerjanya, kurs telah menyentuh Rp 17 ribuan, IHSG jatuh ke angka 3900an dari angka 5000an pada Januari 2020.
Untuk itu kita patut bertanya, apakah kondisi ekonomi dibiarkan terus terjun bebas sementara korban meninggal C 19 akan terus meningkat? Sampai berapa banyak dana APBN yang harus dialokasikan untuk penanganan Covid 19? Berapa banyak devisa yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas nilai Rupiah yang terus terdepresiasi? Berapa jumlah korban meninggal akibat Covid 18 yang dapat masuk kategori minimal?
Apakah pemerintah masih mampu mengambil langkah2 penyesuaian agar bisa lebih efisien dan efektif penanganan korban Covid 19 dengan tetap menjaga perekonomian tumbuh di sekitar 4% ?
Itulah alasan mengapa saya terpanggil untuk memberikan masukan kepada pemerintah dalam bentuk tulisan ini.
Saya yakin masih ada alternatif terbaik lainnya walaupun masih memerlukan kajian yang secepatnya dan mendalam sebelum diimplementasikan. Yaitu, mereka yg potensial mengalami korban meninggal, yaitu orang2 yg memiliki daya tahan atau antibodi rendah, merekalah yg perlu diisolasi jika masuk ODP atau dirawat jika masuk PDP. Sedangkan mereka yg memiliki daya tahan dan antibodi yg cukup kuat biarlah tetap melakukan aktivitas karena antibodinya mampu membunuh virus yg masuk ke dalam tubuhnya dalam tempo 2-3 minggu.
Beginilah argumennya.
Virus Corona, lebih dikenal dengan Covid 19 atau C 19, telah menyebar secara global. Banyak korban tertular hingga meninggal. Tetapi, berita menggembirakan, bahwa jumlah korban meninggal rata2 di sekitar 3-10% dari jumlah yg tertular. Sejumlah 90-97% dapat kembali sembuh sehat.
Dari pengalaman berbagai negara, kebijakan yang diambil dalam menanggulangi penyebaran C 19 tampak berbeda-beda.
Perbedaannya terutama dengan mempertimbangkan titip ekuilibrium yg optimal antara kepentingan pertumbuhan ekonomi dan risiko kemanusiaan akibat C 19. Pilihan masing2 negara cukup berbeda.
Sebagian besar memilih untuk mengisolasi ODP dan merawat PDP tanpa membedakan usia atau kekuatan antibodi si korban. Keterbatasan fasilitas dan tenaga medis menjadi persoalan dunia. New York hanya mrmiliki sekitar 54 ribuan ruang rawat inap dan emergency/ ICU, sementara yg dibutuhkan lebih dari 100 ribu kamar sehingga terpaksa membangun baru dan memanfaatkan gedung yg ada. Biaya penangangan seperti ini akan sangat besar. Turkey akan menyediakan lebih dari USD 15 milyar khusus untuk penanganan C 19. Sebagian negara menerapkan lockdown. Semua kebijakan seperti ini akan membebani perekonomian. Langkah ini tidak akan memperhatikan efisiensi, efektivitas, dan opportunity cost setiap dana yg dikeluarkan. Karena korban meninggal akan lumayan banyak terutama dari kalangan Lansia dan pengidap penyakit kronis, yg notabene orang2 yg memiliki antibodi rendah.
Bagi saya, yang menarik adalah respon pemerintah Israel yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan yg ditunjuk sebagai panglima perang melawan C 19. Tidak diragukan lagi, Menteri pertahanan Israel menyampaikan konsep berbeda dan bertolak belakang dengan kebijakan banyak negara lain. Dalam narasinya, dia mengasumsikan data penduduk dalam 2 kategori. Pertama, penduduk usia muda yang memiliki antibodi kuat, sekitar 80% dari total penduduk negara. Sedangkan sisanya 20% memiliki antibodi yg relatif lemah, mereka terdiri dari Lansia dan usia muda yg mengidap penyakit. Dengan asumsi tersebut, maka sebagian dari penduduk yg 80% diperkirakan akan tertular virus covid 19 karena tetap normal melakukan aktivitasnya, tetapi mereka tdk bermasalah krn antibodinya mampu membunuh virus tsb jika masuk ke dalam tubuhnya. Mrk tdk perlu dibawa ke RS. Diperkirakan mulai hari ke 7 antibodinya akan mulai membunuh virusnya hingga pada hari ke 16 akan bersihbtotal dari virus C 19 dan ybs akan tetap sehat wal’afiat. Tidak perlu dijadikan PDP atau dirawat di RS. Mereka tdk akan mengalami gejala apapun. Hanya perlu menjaga stabilitas kesehatannya hingga dalam waktu 2-3 minggu. SOP perlu diberikan untuk dijalankan.
Bagaimana dgn kategori kedua, penduduk yg 20%? Mereka harus mengisolasi diri di rumah dan secara fisik tdk boleh dekat dgn yg 80% (termasuk dgn anak dan cucu). Jika mrk ada yg diduga tertular, maka mrk boleh dimasukkan sebagai ODP untuk diisolasi atau PDP bagi mereka yg membutuhkan perawatan di RS khusus. Mereka harus diberikan obat2an yg memperkuat antibodi. Mrk yg di rumah dan tdk tertular jg perlu diberikan kemudahan mendapatkan obat2an dan makanan utk memperkuat antibodi.
Sehingga RS khusus tersebut hanya diisi oleh orang2 yg masuk kategori PDP dari kelompok penduduk yg 20%, bukan dari penduduk yg 80%. Pemerintah bisa lebih fokus dan korban jadi minimal. Efisiensi dan efektivitas bantuan akan lebih tinggi sementara perekonomian tetap jalan tanpa lockdown atau penghentian aktivitas ekonomi.
Jadi, penduduk yg masuk kategori 80% bisa saja bebas bekerja utk mengejar pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Dengan respons yg tepat seperti di atas diperkirakan dalam tempo 1-2 bulan seluruh penduduk yg 80% akan tertular virus tapi sudah kembali sehat karena antibodi, sementara yg 20% tidak sempat tertular dan tetap sehat. Sedangkan yg tertular, barangkali sudah banyak kembali sehat dari RS karena penanganannya lebih bagus dan realistis. Jika kebijakan seperti ini diambil maka saya yakin perekonomian juga tidak akan banyak kena dampak negatifnya. Sementara jumlah korban meninggal akibat C 19 akan sangat minimal.
Sebaliknya, sebagaimana respons banyak negara termasuk Indonesia, jika setiap orang yg tertular virus dimasukkan sebagai ODP dan PDP, tanpa membedakan 2 kategori di atas, maka jumlah korban tertular tidak akan bisa banyak ditangani krn terbatasnya fasilitas dan tenaga medis di RS. Sehingga akan banyak korban C 19 yang meninggal, terutama dari kelompok yg 20% tadi (Lansia dan orang pengidap penyakit kronis).
Semoga tulisan ini ada manfaatnya.
Dr. S Benny Pasaribu, PhD (Ekonom Senior, mantan Ketua KPPU RI)